OPINI | 20 December 2009 | 09:18
Joko Hendarto
Saya adalah seorang warga negara yang berusaha selalu belajar. Tinggal di Makassar namun dalam 4 tahun ke depan akan lebih banyak berdomisili di pulau Sumba, NTT.
Saya membayangkan wajah seorang perempuan yang sedang marah. Perempuan yang sebetulnya ingin protes terhadap perlakuan sekelompok orang. Sekelompok orang yang mengatasnamakan kebebasan lalu membuat orang tak lagi boleh punya rahasia. Tak lagi punya hak atas dirinya, tentang bagian mana yang bisa dan tidak diberitakan kepada khalayak. Menjadikan malu dan mungkin “kemaluan” bukanlah sesuatu yang dianggap memalukan lagi. Ia betul-betul marah, lalu mengeluarkan sumpah serapah . Sekelompok orang-orang itu tidak terima. Mereka membawa kitab undang-undang ditangan. Datang berduyun-duyun dengan gagah ke kepada orang berseragam. Polisi. Melaporkan sang perempuan agar dijebloskan ke balik jeruji, juga membayar sejumlah denda karena merasa kehormatannya diinjak-injak.
Menakutkan. Apakah selamanya para pesohor itu tidak bisa sesaat berhenti menjadi pesohor. Ya, sesaat saja untuk kembali menjadi manusia biasa. Punya sedikit ruang pribadi. Menikmati hidup yang jauh dari gemerlap. Menikmati sejenak kesunyian pada sebuah akhir pekan. Berhak marah jika ketenangan yang mahal itu diusik. Bahkan oleh mereka yang selalu merasa punya hak untuk membongkar aib setiap orang. Punya wewenang membawa hal-hal yang sungguh memalukan itu kehadapan publik.
Ada yang tragis disini. Sekelompok orang yang bertugas mewartakan berita itu tiba-tiba dalam pandang saya menjadi sosok yang begitu menakutkan. Bahwa kata-kata yang kemudian sudah lepas tak dapat ditarik lagi. Bahwa sumpah serapah itu buruk, saya kira semua orang tak ada yang tidak sepakat. Orang-orang menyesalkan itu. Tapi nampaknya tidak adil jika sepenuhnya menyalahkan sang perempuan. Utamanya saat sekelompok orang itu mungkin tidak pernah berkaca bahwa laku mereka selama ini, juga kadang-kadang diluar batas. Meresahkan. Bertanya kepada seseorang perempuan, dihadapan orang banyak tentang hal-hal yang sangat pribadi lalu dengan tanpa bersalah menyampaikannya ke seluruh dunia lewat kotak ajaib bernama televisi. Bertanya tentang aib rumah tangga. Borok kehidupan pribadi. Seperti para perempuan-perempuan lain sebelumnya.Tentang apakah mereka benar telah berbadan dua sebelum akad nikah dilakukan. Apakah mereka sebangsa perempuan yang bisa dipanggil-panggil oleh om-om. Menjadikannya bahan obrolan ibu-ibu saat arisan. Bisa jadi ada diantara perempuan-perempuan itu yang memang suka dan rela diperlakukan demikian, namun saya percaya banyak juga dari mereka yang marah.
Dan apa yang dilakukan sekelompok orang itu saya kira tidak hanya meresahkan perempuan itu, namun juga saya, mungkin kita. Saya sudah berusaha mematut-matut kata-kata dalam tulisan ini. Seperti seorang remaja putri yang hendak datang ke pestanya yang pertama. Berkali-kali memeriksa riasan juga gaun. Memeriksa apakah semuanya sudah layak. Saya pun berusaha memeriksa apakah kata-kata dalam coret-coretan ini telah patut. Saya takut ada satu dua kata yang salah, lalu besok ada sekelompok orang yang datang , lagi-lagi dengan kitab Undang-undang itu. Merasa terlecehkan. Lalu berkeras hendak menjebloskan orang ke dalam bui.
Tadinya saya berpikir bahwa sekelompok orang yang hidup dari warta, yang hidup dari menyampaikan berita kepada orang-orang itu, bisa lebih bijak. Bisa mewartakan balik bahwa mereka tidaklah seperti yang dituduhkan. Mereka tidaklah seburuk tuduhan perempuan itu. Dan pada mereka kata-kata harusnya bisa dilawan dengan kata-kata juga, bukan dengan ancaman penjara.
Saya memang simpati pada perempuan itu. Perempuan yang sore itu saya saksikan lewat layar kaca pada sebuah tayangan berita. Saat itu ia sedang memanggul seorang bocah perempuan yang kelelahan dan ia sedang marah dengan sangat. Bocah perempuan itu harusnya tidak layak mendengar pertanyaan yang agak tak pantas, yang ditujukan pada calon ibunya. Saya membayangkan seandainya sekelompok orang itu bisa lebih bersabar. Menunggu saat yang mungkin sedikit luang, juga dengan pertanyaan yang sedikit lebih patut mungkin sumpah serapah itu tak akan tumpah. Tapi sudahlah ini akan menjadi babak baru sebuah cerita. Setidaknya ini akan membuat orang lebih awas. Tak ada lagi ruang dimana tak ada mata melihat dan telinga yang mendengar. Mungkin ini juga membuat orang bisa lebih belajar berkata-kata. Belajar berhenti memaki. Dan aturan dalam Undang-undang itu? Ada yang menakutkan padanya. Membuat hidup serasa dalam rumah kaca, seperti cerita dalam novel Pramoedya Ananta Toer. Tidakkah ia perlu dilihat ulang agar orang kemudian tidak gagu dan kehilangan nyali berkata-kata. Ya, karena dengannya kata-kata yang ditafsirkan “tidak menyenangkan”,selalu berarti ancaman jeruji.