OPINI | 21 April 2010 | 08:27
Lazuardi Ansori
Lahir dan besar di Lamongan, kemudian belajar hidup di Sulawesi dan Papua...
Sisa waktu untuk istirahat makan siang masih lama, mumpung ‘ada’ matahari, aku coba berjemur diri di depan kantor. Sangat jarang mendapati cuaca sehangat ini di Tembagapura. Mencari tempat yang bisa di buat PeWe dengan menggunakan kursi pinjaman dari penjual pulsa ada disebelah kantor. Subhanallah, nikmatnya sinar matahari ini, meskipun ditempat lain ada juga yang memaki-maki panasnya.
Duduk santai seperti ini memang nyaman, andai saja sepanjang waktu bisa seperti ini, tak perlu capek ngurusin keluhan pelanggan, kepala juga tidak pusing karena kebanyakan ‘pacaran’ dengan komputer. Kenapa sih harus kerja untuk bisa dapet duit? Emangnya ga bisa, cuma duduk-duduk santai kayak gini terus akhir bulan dapet gaji?
Tiba-tiba khayalanku tentang duit itu hancur lebur, berkeping-keping, berhamburan, lenyap dalam sekejap atau apapulah itu, aku kesulitan mencari kata untuk menggambarkannya. Yang pastinya ada sesuatu yang lebih menarik dari khayalan tentang duit. Ada makhluk yang bernama wanita lewat didepanku, yang ini namanya tidak sekedar wanita, tapi wanita seksi. Semlohe….!!!. Beberapakali aku menelan ludah, mataku tak bisa berkedip bahkan kalaupun diculek pake paku aku tidak akan berkedip. “Subhanallah…. Tuhan mencipkan makhluk seindah itu” Aku mencoba untuk me-religi-kan kesetananku ini.
Sudah agak jauh bidadari itu dari depanku, tapi bibirku masih ndoweh, hampir saja ngiler. Siapa dia? Karyawan baru? Tinggal dimana? Koq tumben ada yang indah disini? dan banyak pertanyaan menyerang otakku secara bertubi-tubi. Namun amukan pertanyaan itu langsung berhenti saat muncul pertanyaan yang mematikan, “Emangnya mau apa kamu? kamu kira dia suka ama kamu? Ngaca…!!”
Kenapa kita ini harus tertarik dengan yang indah-indah saja? Syahwat hanya bisa dipancing dengan yang mulus-mulus doang? Bahkan kita kesulitan memilih sendiri kemana ‘nafsu’ itu kita arahkan. Aku ingat ketika suatu hari Kang Slamet menunjukkan padaku sebuah foto orang-orang pedalaman yang hampir tanpa pakaian, difoto itu aku lihat beberapa perempuan bertelanjang dada. Kang Slamet menanyakan apakah aku ‘bernafsu’ melihat foto itu?, aku jawab tidak. Kemudian Kang Slamet bilang, jika yang bertelanjang dada itu Luna Maya, apakah aku tetap tidak ‘bernafsu’? Aku cuma menjawab dengan senyuman waktu itu.
Namun pertanyaan Kang Slamet itu ‘menggangguku’. Kenapa jika Luna Maya aku ‘tertarik’, dan jika orang pedalaman aku biasa-biasa saja? Saat itu aku hanya berfikir, mungkin karena selera saya itu orang berkulit putih bukan orang berkulit hitam. Tapi, jawabanku itu aku bantah sendiri. Terus kenapa orang laki-laki yang yang ada di foto itu tidak ‘bersyahwat’ meskipun melihat ada perempuan satu sukunya bertelanjang dada? Tidak mungkin, mereka tidak ‘berselera’ dengan perempuan-perempuan itu? wong nyatanya mereka juga kawin dan punya anak koq. Jadi kenapa aku ‘tertarik’ dengan dada Luna Maya, sementara mereka biasa-biasa saja melihat dada perempuan itu? Jadi yang jadi masalah sebenarnya bukan dadanya, bukan payudaranya, Terus apanya dong?
Kang Slamet pernah bilang pada saya bahwa ‘manusia’ itu statusnya lebih besar atau lebih tinggi dibanding dengan nafsu, syahwat, keinginan, hasrat dan apapun saja yang ada padanya. Jadi, ‘manusia’ itu memimpin, bukannya dipimpin. Harusnya, ke-‘manusia’-annya yang menentukan semua agendanya nafsu. Kapan harus keluar, dengan siapa dia harus ‘bertemu’ atau keadaan bagaimana nafsu itu harus ditendang jauh-jauh, itu ‘manusia’ yang harus ngatur. Namun, jika sebaliknya, nafsu yang mengatur pergerakan ‘manusia’, sangat tidak pantas jika makhluk itu disebut ‘manusia’.
Waduh… jika seperti itu, aku belum pantas disebut ‘manusia’ dong?
Idealnya, ketika foto itu berupa perempuan pedalaman ataupun Luna Maya aku biasa-biasa saja. Bukan berarti harus kehilangan sunatullah saya sebagai makhluk sosial, yaitu saya punya sisi ‘ketertarikan’ kepada lawan jenis. Tapi lebih pada bagaimana caranya untuk meletakkan Luna Maya itu seperti perempuan pedalaman yang tidak memiliki daya tarik bagiku (tanpa harus ada unsur merendahkan keadaan perempuan pedalaman).
***
Sudah waktunya aku masuk kantor, badanku pun sudah mulai hangat.
Sebenarnya masih banyak yang mengganjal dikepalaku tentang Luna Maya itu, namun ilmuku masih terlalu cekak. Aku ambil HPku dari saku jaket, berniat menelpon Kang Slamet. Tapi aku batalkan, jam kantor begini beliau pasti sangat sibuk. Email. Ya, email saja, kalau lewat email mungkin ga terlalu mengganggu.
Tapi koq jadi bingung, mau nulis apaan. Bagaimana memulai kalimat yang tepat untuk mempertanyakan itu semua pada Kang Slamet. Aku berfikir sangat keras untuk dapat cara bagaimana menyampaikan maksudku.
Nah, akhirnya aku dapat ide juga. Tak perlu aku berkata-kata, aku kirim foto Luna Maya saja. Setelah memilih foto Luna yang paing seksi, di subject email aku tulis “ANDA TERTARIK?”. Setelah yakin tidak ada yang salah, aku klik send.
***
Sepuluh menit kemudian ada balasan dari beliau :
Hai… Dasar Semprul…!!! Maksudmu apa? Biar kamu kirim yang versi telanjangpun aku tidak tertarik…. aku wes khatam kalau masalah begituan…. Jangankan foto, dia telanjang didepanku saja aku gak akan ngapa-ngapain…!! karena aku menganggap dia sebagai makhluk Tuhan saja, tanpa aku klasifikasikan jenis kelaminnya… aku tidak akan memandangnya sebagai wanita, karena jika aku melihat dia sebagai wanita, berarti aku memandangnya dengan ‘kelaki-lakianku’…. padahal ‘kelaki-lakianku’ ini hanya aku persembahkan untuk istriku….
Aku balas : “kalo aku yang belum punya istri ini gimana kang?”
Lumayan lama aku menunggu balasan dari beliau.
Namun tak lama ada balasannya juga. Singkat dan bikin kesal hatiku. Beliau menjawab : ”Itu salahmu sendiri…..!!!”
——
Tembagapura, 24 September 2009
Note : Mohon Maaf, buat De’ Luna Maya yang aku sebut-sebut ditulisan ini, juga pada penduduk pedalaman, insyaAllah saya tidak punya niatan untuk merendahkan siapapun, suku bangsa manapun. ‘kondisi’ anda hanya saya gunakan untuk bahan sinau saya, semoga bermanfaat. amiiin….