Luna Maya dan Asma

    Author: Luna_Lovers Genre: »
    Rating


    kompas, 02 Februari 2007





    Hawa dingin yang menyergap ketika malam kian larut merupakan siksaan
    bagi artis cantik Luna Maya (23). Ia kerap terbangun tiba-tiba gara-
    gara sulit bernapas. Mengi atau bunyi tinggi saat bernapas pun kerap
    dialaminya. hKalau sedang kambuh, rasanya sakit banget,h ujar Luna.

    hDi samping tempat tidurku selalu tersedia kertas tisu dan obat
    pelega pernapasan yang dihirup,h tutur Luna yang bermukim di sebuah
    apartemen di kawasan Permata Hijau, Jakarta. Ketika mencapai
    puncaknya, dahak yang mengental keluar, termasuk saat tidur. Hal ini
    sempat hampir tiap malam dideritanya, terutama ketika letih dan stres.
    Asma itu mulai diderita ketika Luna shooting film Bangsal 13 pada
    tahun 2004. Jadwal shooting dimulai sejak pukul 18.00 sampai pagi
    hari. Setelah berobat ke sejumlah dokter, ia didiagnosa terserang
    asma dan disarankan pantang makan kacang, ayam, susu, dan cokelat.

    Ia menderita asma karena faktor genetik, yakni dari ayahnya. hAneh
    juga, aku baru terserang asma setelah dewasa. Sekarang aku ke mana-
    mana selalu membawa obat inhalasi. Sebab, serangan asma bisa datang
    sewaktu-waktu. Pokoknya, aku tidak boleh terlalu sedih, capek, maupun
    gembira berlebihan. Kalau tertawa terbahak-bahak, serangan asma bisa
    tiba-tiba muncul,h ujarnya.

    Selain rutin berobat ke dokter, Luna mulai menerapkan pola hidup
    sehat dengan rajin berenang, cukup tidur, minum air putih yang
    banyak, dan menghindari asap rokok. hKalau terkontrol, perburukan
    asma bisa dihindari. Masalahnya, obat-obatan asma harganya relatif
    mahal sehingga kurang terjangkau masyarakat luas,h kata Luna yang
    baru didaulat jadi duta asma ini.

    Angka kasus meningkat
    Angka kejadian asma meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara
    maju maupun berkembang. Namun, hanya sedikit penderita asma yang
    terkontrol baik. hDi Eropa angkanya 5 persen, sedangkan di Asia
    Pasifik sekitar 2,5 persen,h kata dokter spesialis alergi imunologi
    Heru Sundaru dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai guru besar Ilmu
    Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

    Menurut Heru, diperkirakan saat ini ada sekitar 300 juta penderita
    asma di seluruh dunia. Pada tahun 2005, sekitar 255.000 penderita
    meninggal karena asma di seluruh dunia, 80 persen terjadi di negara
    berkembang akibat kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan
    kurangnya fasilitas pengobatan. Kematian disebabkan asma di seluruh
    dunia diperkirakan akan meningkat 20 persen untuk sepuluh tahun
    mendatang jika tidak terkontrol dengan baik.

    Prevalensi di Jakarta
    Di Indonesia, prevalensi gejala asma 4,2 persen pada tahun 1995 dan
    meningkat jadi 5,4 persen pada 2001. Kota Jakarta memiliki prevalensi
    gejala asma cukup besar, yaitu 7,5 persen. Penelitian lain
    menunjukkan, prevalensi asma di Jakarta Timur 8,9 persen dan di Pulau
    Seribu 5,4 persen. Di Poliklinik Alergi Imunologi Klinik Departemen
    Ilmu Penyakit Dalam RSCM, kasus asma merupakan 73,6 persen dari
    seluruh kunjungan pada tahun 2005.
    hAsia Pasifik memiliki tingkat kematian tertinggi di dunia. Di China,
    36,7 dari 100.000 penderita asma meninggal,h kata Prof Richard
    Beasley dari Inisiatif Global untuk Asma (GINA) dalam acara
    pembentukan Koalisi Pasien Asma Se-Pan Asia di Kuala Lumpur,
    Malaysia, akhir pekan lalu. Per tahun, separuh penderita asma di Asia
    Pasifik pernah dirawat di rumah sakit dan pengobatan darurat lain
    akibat asma.

    Dokter spesialis paru dr Budhi Antariksa PhD dari RS Persahabatan
    Jakarta mengatakan, asma merupakan gangguan peradangan kronik pada
    saluran pernapasan. Radang ini terkait dengan saluran yang
    hiperresponsif, mengakibatkan mengi berulang berupa bunyi ngik-ngik
    ketika bernapas, kesulitan pernapasan, dada sesak dan batuk, umumnya
    terjadi pada malam hari dan dini hari.

    Peristiwa ini biasanya berkaitan dengan banyak hal, tapi dapat
    berubah-ubah, gangguan aliran udara di dalam paru-paru secara
    spontan. Terdapat tiga proses mendasar, yaitu terjadi peradangan pada
    saluran pernapasan, otot pada saluran pernapasan mengencang, dan
    produksi lendir di dalam saluran pernapasan meningkat.

    Asma dapat didiagnosa dengan melihat garis keturunan sanak saudara
    yang diidentifikasi memiliki risiko menderita asma. hPaparan terhadap
    faktor alergen dan bahan-bahan kimia juga menjadi risiko utama karena
    saluran yang meradang pada penderita asma menjadi sangat sensitif
    terhadap berbagai macam pemicu,h tutur Budhi.

    Pemicu asma meliputi alergen, antara lain debu rumah, hewan
    peliharaan, dan beberapa jenis makanan. Pemicu lain adalah infeksi
    virus sehingga terserang flu, iritan yang berasal dari asap rokok,
    polusi udara dan bau cat, adanya perubahan cuaca, kondisi pekerjaan
    yang banyak debu kayu, tepung, zat kimia dan lem, mengonsumsi obat-
    obatan tertentu seperti aspirin, serta gangguan emosional.

    Sementara sejumlah faktor yang dapat meningkatkan perkembangan asma
    adalah polusi udara, infeksi pernapasan, berat badan sangat kecil
    pada saat lahir, obesitas, diet, dan asap rokok. Tingkat keparahan
    asma beragam. Sebagian penderita mengalami gejala ringan dan jarang
    terjadi, tapi yang lain sulit bernapas. hAsma dapat diderita pada
    semua golongan umur,h kata Richard.

    Gejala asma dapat timbul dan hilang dengan cepat yang ditandai dengan
    mengi atau bunyi napas bernada tinggi ketika bernapas, batuk yang
    mengganggu, khususnya pada malam atau pada saat bangun pagi, masalah
    pernapasan pada musim atau waktu tertentu, batuk dan mengi atau napas
    berbunyi setelah aktivitas fisik, serta rasa dingin pada bagian dada.
    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, biaya ekonomi untuk asma
    dianggarkan melebihi gabungan anggaran tuberkulosis dan HIV/AIDS.

    Asma juga diperkirakan jadi penyebab satu dari 250 kematian di dunia.
    Di negara maju, biaya pengobatan asma berkisar 300-1.300 dollar AS
    per tahun per penderita. Di Asia biaya pengobatan asma berkisar
    184-189 dollar AS per penderita setiap tahun.
    Asma yang tak terkontrol meningkatkan biaya pengobatannya, dan
    berdampak pada hilangnya hari sekolah pada anak atau hari kerja pada
    orang dewasa, kunjungan ke dokter, instalasi gawat darurat, rawat
    inap, gangguan aktivitas, serta rendahnya kualitas hidup. hAdanya
    gejala batuk, mengi, rasa berat di dada, atau sesak napas menunjukkan
    asma yang tidak terkontrol,h kata Heru.

    hJumlah tahun penyesuaian ketidakmampuan (DALYs) hilang karena asma
    di dunia diperkirakan 15 juta per tahun atau satu persen dari
    keseluruhan DALYs hilang di dunia. Ini mencerminkan tingginya
    prevalensi dan tingkat keparahan penyakit,h ujar Richard.
    Sejauh ini, kontrol asma di Asia Pasifik jauh di bawah standar
    pengobatan yang direkomendasikan GINA. Banyak negara meremehkan
    dampak asma dan minimnya data mengenai angka kejadian dan tingkat
    kematian akibat asma. Kendala penanggulangan dampak asma, antara lain
    kemiskinan, kurang pendidikan, minimnya infrastruktur kesehatan dan
    faktor lingkungan, keterbatasan akses obat asma dasar, kurangnya
    informasi dan pengobatan tidak optimal.

    hEdukasi dan pengobatan merupakan dua faktor utama penyebab adanya
    jurang pemisah antara tujuan manajemen asma pada pedoman GINA dan
    kenyataan yang terjadi di Asia Pasifik,h kata Richard. Ada
    kecenderungan pengobatan asma hanya dilakukan pada saat pasien
    menderita asma akut dan bukannya pengobatan rutin. Obat pelega
    dipakai secara berlebihan, sementara penggunaan obat pengontrol dan
    peleganya masih rendah.
    Banyak penderita asma tidak ingin mengetahui kondisi kesehatan
    mereka. Kurangnya informasi membuat mereka enggan mengontrol sendiri
    asmanya. Bahkan, lebih dari 50 persen pasien tidak memakai obat
    sesuai dengan yang diresepkan. Hal ini menjadi hambatan sangat
    signifikan terhadap kontrol asma. hKontrol asma yang buruk
    kemungkinan akibat sikap meremehkan terhadap tingkat keparahan asma
    dan sikap meremehkan perlunya kontrol asma oleh pasien dan dokter,h
    ujar Richard.
    Manajemen asma

    Terapi pencegahan yang teratur adalah kunci untuk mengontrol asma.
    Meski asma merupakan penyakit kronik dan seumur hidup butuh perawatan
    rutin, penderita dapat hidup normal dan aktif. Penatalaksanaan asma
    yang tepat, termasuk kerja sama antara dokter dan pasien serta
    keluarganya, terbukti dapat memberikan hasil yang baik dan
    tercapainya asma kontrol.

    Manajemen asma bertujuan agar pasien hidup normal dengan
    meminimalisasi serangan asma. Keberhasilan mengontrol penyakit asma
    butuh komitmen dari dokter dan pasien untuk membuat rencana manajemen
    asma berkelanjutan yang meliputi diagnosa dan memilih obat yang
    tepat, mengidentifikasi dan menghindari pemicu serangan asma,
    mengedukasi pasien mengenai manajemen asma diri sendiri, serta
    memantau dan memodifikasi perawatan asma.

    Sejauh ini, GINA telah merumuskan pedoman internasional untuk
    mencapai kontrol asma yang sukses. Tujuan dari pengobatan asma adalah
    mencapai dan mempertahankan kontrol asma secara klinis untuk jangka
    waktu yang panjang. Ketika asma telah terkontrol, para pasien dapat
    mencegah terjadinya serangan, menghindari gejala-gejala yang
    mengganggu pada pagi dan malam hari, dan tetap dapat beraktivitas
    secara fisik.

    hDiagnosa dapat dilakukan dengan melihat riwayat dan pola gejala
    asma, pemeriksaan fisik pasien, evaluasi terhadap status alergi, dan
    pengukuran fungsi paru-paru. Perlu dilakukan tes kontrol asma yang
    mencakup variabel keterbatasan dalam beraktivitas, sesak napas,
    gangguan tidur malam hari, penggunaan obat pelega, dan tingkat
    kontrol pasien,h ujar Direktur Rumah Sakit Paru Kuala Lumpur,
    Malaysia, dr Aziah Binte Ahmad Mahayiddin.
    Sejauh ini, belum ada kesepakatan dalam menilai derajat berat asma.
    Akibatnya, pengobatan tidak sesuai dengan derajat berat asma. Saat
    ini diketahui ada lima cara untuk menilai tingkat kontrol asma. Yang
    terkenal adalah asthma control test (ACT). ACT telah diujicobakan di
    RSCM dan hasilnya dapat diandalkan.

    hHasil penelitian di luar negeri menunjukkan, asma yang terkontrol
    dapat menurunkan tingkat rawat inap, kunjungan ke instalasi gawat
    darurat, serta memperbaiki kualitas hidup,h kata Heru.

    Heru mengutip pendapat Barnes, seorang pakar asma bahwa kombinasi
    kortikosteroid dengan agonis beta-2 aksi panjang secara inhalasi
    (hirup) masih merupakan obat paling efektif untuk menurunkan
    frekuensi serangan asma, memperbaiki kondisi saluran napas yang
    meradang, meningkatkan aktivitas fisik dan fungsi paru.

    hUntuk memperbaiki tingkat kontrol asma di masyarakat, perlu
    peningkatan pengetahuan tentang asma bagi dokter, masyarakat, serta
    bantuan pemerintah dalam menyediakan obat asma yang terjangkau bagi
    masyarakat luas,h kata Heru.

    Untuk itu, Koalisi Pasien Asma Se-Pan Asia sepakat perlunya edukasi
    pasien untuk mengontrol asmanya, mengimbau para tenaga kesehatan
    profesional memakai metode diagnosa yang diterima, serta berkampanye
    untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap asma. hIni akan
    mengurangi dampak sosial dan ekonomi dari asma bagi komunitas,h ujar
    Kepala Eksekutif National Asthma Council Australia Kristine Whorlow.
    (Atika Walujani dan Evy Rachmawati)



    Share ke twitter ^^

    TwitThis